Beranda Batak - Cerita Rumah Adat Suku Batak : Artikel blog kami kali ini akan mengulas sedikit cerita, maka dan kandungan filosofi yang terdapat dalam rumah adat orang suku batak, kamu pembaca harus mengetahui hal ini, apa lagi jika kamu merupakan orang dari suku batak, maka perlu memperhatikan secara leluhur kita, kandungan makna yang sebnarnya harus kita lestarikan dan di wariskan lagi ke anak cucu kita nantinya.
Makna dan Kandungan yang Tersirat dari Rumah Adat Batak
Pintu yang rendah berukuran 1.5 meter pada rumah adat Batak
yang membuat para tamu yang mengunjunginya menunduk melambangkan
kesopanan. Seseorang harus menunduk agar bisa masuk rumah tersebut, sama
halnya dengan keharusan tamu menghormati pemilik rumah. Suku Batak terdiri dari enam kelompok Puak yang sebagian besar menempati daerah Sumatera Utara, terdiri dari Batak Karo, Simalungun, Pak-Pak, Toba, Angkola dan Mandailing. Suku Batak Toba
adalah masyarakat Batak Toba yang bertempat tinggal sebagai penduduk
asli disekitar Danau Toba di Tapanuli Utara. Pola perkampungan pada
umumnya berkelompok. Kelompok bangunan pada suatu kampung umumnya dua
baris, yaitu barisan Utara dan Selatan. Barisan Utara terdiri dari
lumbung tempat menyimpan padi dan barisan atas terdiri dari rumah adat,
dipisahkan oleh ruangan terbuka untuk semua kegiatan sehari-hari.
Desa-desa di daerah Danau Toba, meskipun saat ini telah kehilangan
dibandingkandengan bentuk desa masa lampau, tetapi ciri yang umum masih
ada bahkan pada desa-desa yang kecil, yaitu dikelilingi oleh sebuah
belukar bambu. Pohon-pohon bambu sangat tinggi dan seringkali sulit
untuk melihat rumah-rumahnya dari luar desa itu, kecuali didaerah yang
berbukit. Di sekitar Balige, poros bangunan yang panjang mempunyai arah
Utara-Selatan sedang di daerah bukit poros bangunan yang panjang sering
diorientasikan secara melintang ke arah sudut-sudut yang tepat ke
lereng-lereng bukit. Di daerah Samosir, poros bangunan yang panjang
diarahkan ke Timur-Barat. Pada mulanya Huta, Lumban, atau kampung itu hanya dihuni oleh satu klan
atau marga dan Huta itu pun di bangun oleh klan itu sendiri. Jadi sejak
mulanya Huta itu adalah milik bersama. Sebagaimana ciri khas orang Batak
yang suka gotong royong, demikianlah mereka membangun Huta. Oleh karena
Huta didiami oleh sekelompok orang yang semarga, maka ikatan
kekeluargaan sangat erat di Huta itu. Mereka secara gotong royong
membangun dan memperbaiki rumah, secara bersama-sama memperbaiki
pancuran tempat mandi, memperbaiki pengairan, mengerjakan ladang dan
sawah, dan bersama-sama pula memetik hasilnya. Biasanya Huta hanya didiami beberapa anggota keluarga yang berasal dari
satu leluhur. Disebabkan oleh pertambahan penduduk, kemudian dibangunlah
rumah dekat rumah leleuhur atau ayah yang pertama. Demikian seterusnya
bangunan rumah makin bertambah, sehingga terbentuk perkampungan yang
lebih ramai. Sering pula kampung itu terdiri dari beberapa kelompok
kampung-kampung kecil, yang hanya dipisahkan pagar bambu yang ditanam
dipinggiran kampung.
Adanya usaha beberapa orang dari anggota masyarakat dalam satu kampung
untuk memisahkan diri dan membentuk kampung sendiri, dapat membuat
berdirinya Huta lain. Suatu Huta yang baru, hanya dapat diresmikan kalau
sudah ada ijin dari Huta yang lama (Huta induk) dan telah menjalankan
suatu upacara tertentu yang bersifat membayar hutang kepada Huta induk.
Rumah adat Batak Toba berdasarkan fungsinya dapat dibedakan ke dalam
rumah yang digunakan untuk tempat tinggal keluarga disebut ruma, dan
rumah yang digunakan sebagai tempat penyimpanan (lumbung) disebut Sopo.
Bahan-bahan bangunan terdiri dari kayu dengan tiang-tiang yang besar dan
kokoh. Dinding dari papan atau tepas, lantai juga dari papan sedangkan
atap dari ijuk. Tipe khas rumah adat Batak Toba adalah bentuk atapnya
yang melengkung dan pada ujung atap sebelah depan kadang-kadang
dilekatkan tanduk kerbau, sehingga rumah adat itu menyerupai kerbau. Punggung kerbau adalah atap yang melengkung, kaki-kaki kerbau adalah
tiang-tiang pada kolong rumah. Sebagai ukuran dipakai depa, jengkal,
asta dan langkah seperti ukuran-ukuran yang pada umumnya dipergunakan
pada rumah-rumah tradisional di Jawa, Bali dan daerah-daerah lain. Pada
umumnya dinding rumah merupakan center point, karena adanya ukir-ukiran
yang berwarna merah, putih dan hitam yang merupakan warna tradisional
Batak.
Ruma Gorga Sarimunggu yaitu ruma gorga yang memiliki hiasan yang penuh
makna dan arti. Dari segi bentuk, arah motif dapat dicerminkan falsafah
maupun pandangan hidup orang Batak yang suka musyawarah, gotong royong,
suka berterus terang, sifat terbuka, dinamis dan kreatif.
Ruma Parsantian didirikan oleh sekeluarga dan siapa yang jadi anak
bungsu itulah yang diberi hak untuk menempati dan merawatnya. Di dalam
satu rumah dapat tinggal beberapa keluarga , antara keluarga bapak dan
keluarga anak yang sudah menikah. Biasanya orangtua tidur di bagian
salah satu sudut rumah. Seringkali keluarga menantu tinggal bersama
orangtua dalam rumah yang sama.
Rumah melambangkan makrokosmos dan mikrokosmos yang terdiri dari adanya
tritunggal benua, yaitu : Benua Atas yang ditempati Dewa, dilambangkan
dengan atap rumah; Benua Tengah yang ditempati manusia, dilambangkan
dengan lantai dan dinding; Benua Bawah sebagai tempat kematian
dilambangkan dengan kolong. Pada jaman dulu, rumah bagian tengah itu
tidak mempunyai kamar-kamar dan naik ke rumah harus melalui tangga dari
kolong rumah, terdiri dari lima sampai tujuh buah anak tangga.
Bersambung.
Kelompok dan Perbedaan Rumah Adat Suku Batak
Suku Batak terdiri dari enam kelompok Puak yang sebagian besar menempati
daerah Sumatera Utara, terdiri dari Batak Karo, Simalungun, Pak-Pak,
Toba, Angkola dan Mandailing. Sebelum meletakkan pondasi lebih dahulu
diadakan sesajen, biasanya berupa hewan, seperti kerbau atau babi.
Caranya yaitu dengan meletakkan kepala binatang tersebut ke dalam lubang
pondasi, juga darahnya di tuang kedalam lubang. Tujuannya supaya
pemilik rumah selamat dan banyak rejeki di tempat yang baru.
Ada tiang yang dekat dengan pintu (basiha pandak) yang berfungsi untuk
memikul bagian atas, khususnya landasan lantai rumah dan bentuknya bulat
panjang. Balok untuk menghubungkan semua tiang-tiang disebut rassang
yang lebih tebal dari papan. Berfungsi untuk mempersatukan tiang-tiang
depan, belakang, samping kanan dan kiri rumah dan dipegang oleh
solong-solong (pengganti paku). Pintu kolong rumah digunakan untuk
jalannya kerbau supaya bisa masuk ke dalam kolong. Tangga rumah terdiri dari dua macam, yaitu : pertama, tangga jantan
(balatuk tunggal), terbuat dari potongan sebatang pohon atau tiang yang
dibentuk menjadi anak tangga. Anak tangga adalah lobang pada batang itu
sendiri,berjumlah lima atau tujuh buah. Biasanya terbuat dari sejenis
pohon besar yang batangnya kuat dan disebut sibagure. Kedua, tangga
betina (balatuk boru-boru), terbuat dari beberapa potong kayu yang keras
dan jumlah anak tangganya ganjil. Tiang-tiang depan dan belakang rumah adat satu sama lain dihubungkan
oleh papan yang agak tebal (tustus parbarat), menembus lubang pada tiang
depan dan belakang. Pada waktu peletakannya, tepat di bawah tiang
ditanam ijuk yang berisi ramuan obat-obatan dan telur ayam yang telah
dipecah, bertujuan agar penghuni rumah terhindar dari mara bahaya.
Rumah adat Batak Toba pada bagian-bagian lainnya terdapat
ornamen-ornamen yang penuh dengan makna dan simbolisme, yang
menggambarkan kewibawaan dan kharisma. Ornamen-ornamen tersebut berupa
orang yang menarik kerbau melambangkan kehidupan dan semangat kerja,
ornament-ornamen perang dan dan sebagainya. Teknik ragam hias terdiri
dari dua cara, yaitu dengan teknik ukir teknik lukis. Untuk mengukir
digunakan pisau tajam dengan alat pemukulnya (pasak-pasak) dari kayu.
Sedangkan teknik lukis bahannya diolah sendiri dari batu-batuan atau pun
tanaga yang keras dan arang. Atap rumah terbuat dari ijuk yang terdiri
dari tiga lapis. Lapisan pertama disebut tuham-tuham ( satu golongan
besar dari ijuk, yang disusun mulai dari jabu bona tebalnya 20 cm dan
luasnya 1x1,5 m2). Antara tuham yang satu dan dengan tuham lainnya diisi
dengan ijuk agar permukaannya menjadi rata. Lapisan kedua, yaitu
lalubaknya berupa ijuk yang langsung diambil dari pohon Enau dan masih
padat, diletakkan lapis ketiga. Setiap lapisan diikat dengan jarum yang
terbuat dari bambu dengan jarak 0,5 m. Sebelum mendirikan bangunan diadakan musyawarah terlebih dahulu. Hasil
musyawarah dikonsultasikan kepada pengetua untuk memohon nasihat atau
saran. Setelah diadakan musyawarah, tindakan berikutnya adalah
peninjauan tempat. Apabila tempat tersebut memenuhi persyaratan, maka
ditandai dengan mare-mare yakni daun pohon enau yang masih muda dan
berwarna kuning, yang merupakan pertanda atau pengumuman bagi penduduk
disekitarnya bahwa tempat tersebut akan dijadikan bangunan. Tahap pertama adalah pencarian pohon-pohon yang cocok kemudian ditebang
dan dikumpulkan disekitar tempat-tempat yang akan didirikan rumah.
Kemudian bahan-bahan tersebut ditumpuk ditempat tertentu agar terhindar
dari hujan dan tidak cepat lapuk atau menjadi busuk. Dalam mendirikan suatu rumah adat biasanya memakan waktu sampai lima
tahun. Sudah barang tentu memakan biaya banyak, karena banyaknya hewan
yang dikorbankan, untuk memenuhi syarat-syarat dan upacara-upacara yang
diadakan, baik sebelum mendirikan bangunan (upacara mengusung bunti),
pada waktu mendirikan bangunan (upacara parsik tiang) pada waktu
memasang tiang, dan panaik uwur (pada waktu memasang uwur) maupun pada
waktu bangunan telah selesai, yaitu upacara memasuki rumah baru
(mangopoi jambu) dan upacara memestakan rumah (pamestahon jabu).
Fungsi dari bangunan ini seperti yang ada di Pematang Purba, tampaknya
telah menyimpang dari penggunaan aslinya dan terlihat pada tungku
perapiannya. Bagian atas menunjukkan bahwa kegunaan utamanya telah
menjadi tempat tinggal dan bukan dipergunakan sebagai tempat penyimpanan
beras. Bangunan ini kira-kira luasnya 25 m2 dan tingginya 7m.
Strukturnya di atas dua belas batu kali yang tiga menyilang ke depan dan
empat dari depan ke belakang. Lantai yang lebih rendah hanya 75 cm dari
tanah dan ditopang tiga lapis palang balok. Lumbung digantungkan di
atas tungku di tingkat atas, dimana penggunaan utama dari bangunan
tersebut tetap sebagai tempat penyimpanan beras.
Balai Balon Adat semula digunakan untuk tempat pertemuan-pertemuan dan
untuk membahas masalah penting dalam hukum adat. Sistem pembangunannya
sama seperti Balai Buttu, tetapi dalam skala lebih besar. Perbedaan
utamanya adalah pada tiang penyangga struktur atap yang diletakkan di
atas balok lantai. Tiang berdiameter 35 cmdan dibuat dari kayu yang
sangat keras. Dasar dari tiang ini sangat penting dan ditutupi dengan
ukiran, lukisan dan tulisan yang berhubungan dengan hukum adat. Bagian
depan (Timur) adalah pintu, lebarnya 80 cm dan tingginya 1,5 m,
dikelilingi dengan ukiran, lukisan dan tulisan dan dengan dua kepala
singa pada ambang pintu.
Potongan yang lebih rendah dari dinding yang miring pada setiap sisi
pintunya dipenuhi dengan papan tiang jendela vertikal yang membiarkan
masuknya cahaya dan angin. Rumah Balon Adat (rumah raja) terbagi menjadi
dua bagian, yaitu yang besar dibangun pada tiang-tiang vertikal,
sedangkan yang kecil disusun pada tumpukan balok horisontal, pintu masuk
pada sisi sebelah Timur diapit oleh balkon atas dan bawah, menopang
pada sambungan dari bagian atap ke bagian depan bangunan. Ujung atapnya
sederhana, dua puluh tiang yang menopang lantai dibentuk menjadi ortogal
dan dicat dengan motifgeometris hitam putih. Tidak seperti bangunan lainnya, bangunan ini mempunyai lantai ganda
dengan gang yang menurun ke pusat pada lantai yang lebih rendah. Lantai
yang rendah berada 2,80 m dari tanah dan gang digantungkan dengan rota
yang diikat pada dua pusat kayu, dilengkapi dengan kumpulan papan yang
terbentuk dengan indah sebagai dekorasinya. Tungku perapian dibangun
dari sisa pembakaran kayu dan dipenuhi dengan tanah. Di atas tungku
dipasang ayunan dimana peralatan memasak disimpan dan bahan makanan
dikeringkan serta diasapi. Pintu pada ujung sebelah Timur kamar raja berisi ruangan tidur kecil dan
dua tungku api. Konstruksi pada bagian bangunan ini sama dengan rumah
pertemuan (Balai Balon adat) kecuali struktur lantainya sedikit rumit
sebagai akibat dari tungku tersebut. Penutup atap keseluruhan adalah
jalinan ijuk pada kaso dan papan kecil dari bambu. Bumbungan dikat
dengan ijuk dengan hiasan kepala kerbau pada puncaknya.
Pada bangunan Simalungun susunan strukturnya terdiri dari tiang-tiang
bergaris tengah 40 sampai 50 cm. Sebagian besar adalah balok-balok dan
tiang-tiang yang dibiarkan dalam potongan bundar yang ditebang dari
hutan. Kayu yang digunakan pada umumnya adalah kayu keras, kayu tongkang
dan kadang-kadang keseluruhan bambu digunakan dalam jalinan ijuk yang
diikat dengan rotan atau bambu belah. Struktur tersebut ditata di atas
batu-batu kali yang besar kecuali untuk rumah raja. Tiang-tiangnya
ditanam di dalam tanah. Pusat tiang terpenting dari gedung pertemuan
diukir dari kayu keras yang tebal. Paku tidak digunakan dalam
konstruksi, hanya pasak dan tali ijuk baji (sentung). Bangunan rumah adat Batak Karo merupakan sebuah bangunan yang sangat
besar, terdiri dari empat sampai enam tungku perapian, satu untuk setiap
unit keluarga besar (jabu) atau untuk dua jabu. Oleh karena itu antara
empat sampai duabelas keluarga dapat tinggal di rumah tersebut dan
dengan ukuran rata-rata keluarga besar terdiri dari lima orang (suami,
istri dan tiga orang anak). Rumah adat Batak Karo dapat ditempati oleh
dua puluh sampai enam puluh orang. Anak-anak tidur dengan orangtua
sampai menjelang usia dewasa, pada pria dewasa (bujangan) tidur di
bale-bale lumbung dan para gadis bergabung dengan keluarga lain di rumah
lainnya. Rumah adat Batak Karo berukuran 17x12 m2 dan tingginya 12m. Bangunan ini
simetris pada kedua porosnya, sehingga pintu masuk pada kedua sisinya
kelihatan sama. Hal ini sulit untuk membedakan yang mana pintu masuk
utamanya. Rumah adat Batak Karo dibangun dengan enam belas tiang yang
bersandar pada batu-batu besar dari gunung atau sungai. Delapan dari
tiang-tiang ini menyangga lantai dan atap, sedangkan yang delapan lagi
hanya penyangga lantai saja. Dinding-dindingnya juga merupakan penunjang
atap. Kedua pintumasuk dan kedelapan jendela dipasang di atas dinding
yang miring, di atas lingkaran balok. Tinggi pintu setinggi orang dewasa
dan jendela ukurannya lebih kecil. Pintu mempunyai daun pintu ganda
sedangkan jendela mempunyai daun jendela tunggal. Bagian luar dari kusen jendela dan pintu umumnya diukir dalam versi yang
rumit dari susunan busur dan anak panah. Atap dijalin dengan ijuk hitam
dan diikatkan kepada sebuah kerangka dari anyaman bambu yang menutupi
bagian bawah kerangka dari pohon aren atau bambu. Bumbungan atap terbuat
dari jerami yang tebalnya 15 sampai 20 cm. Bagian terendah dari atap
pertama di bagian pangkalnya ditanami tanaman yang menjalar pada semua
dinding dan berfungsi sebagai penahan hujan deras. Ujung dari atap yang
menonjol ditutup dengan tikar bambu yang sangat indah.
Share This :
0 komentar
Komentar tanpa Nama kurang disukai dan cenderung dihapus!.