-->
BLANTERWISDOM101

Orang Batak Penakut atau Pengecut...??!!!

Wednesday, September 4, 2013
Artikel ini Merupakan Hasil Jalan-jalan Saya ke Blog Tetangga,
Saya Pikir Artikel ini Bermanfaat untuk terus di Bagikan atau di Kabarkan di Siarkan...!!!
“…Orang Batak memang pintar menyesuaikan diri, pintar mengambil hati. dan pintar membunglon. Itu ciri-ciri penakut,”katanya, lalu menikam dengan pernyataan lebih menyakitkan,”Otak kalian mungkin jauh lebih cerdas dibanding suku-suku lain di Indonesia, tapi hati kalian lemah, dan pendirian kalian gampang berubah-ubah. Batak itu oportunis tulen.”

Oleh : Robert Manurung
Keras, kasar, tanpa kompromi; begitulah stereotip orang Batak di mata etnis lain di Indonesia. Selain menimbulkan citra yang sangat negatif, stereotip tersebut juga mencuatkan kesan : orang Batak sangat pemberani, bahkan garang. Namun, penilaian itu ditertawakan oleh seorang sahabatku asal Sulawesi, puluhan tahun silam. Dia bilang : Orang Batak penakut! .
Dulu, aku menyangkal habis-habisan, dan bahkan marah. Aku sodorkan contoh demi contoh, fakta demi fakta, untuk membuktikan kebalikannya, bahwa sejatinya orang Batak pemberani. Tapi, tetap saja dia pada pendapatnya : orang Batak Penakut!
Darahku langsung mendidih. Lalu, dengan kemarahan yang meluap, aku berkata,”Jaga mulut kau kawan, Jangan sembarangan menghina suku aku. Apa matamu buta ? Apa tak bisa kau lihat begitu banyak orang Batak yang jadi jenderal, bahkan menjadi Panglima ABRI?”
Tanpa memperdulikan kemarahanku, dia menjawab sambil tersenyum penuh pengertian, yang membuat darah mudaku kian mendidih,”Itu membuktikan bahwa orang Batak pintar, bukan pemberani. Orang Batak memang pintar menyesuaikan diri, pintar mengambil hati. dan pintar membunglon. Itu ciri-ciri penakut,”katanya, lalu menikam dengan pernyataan lebih menyakitkan,”Otak kalian mungkin jauh lebih cerdas dibanding suku-suku lain di Indonesia, tapi hati kalian lemah, dan pendirian kalian gampang berubah-ubah. Batak itu oportunis tulen.”
Sahabatku itu berasal dari Sangir, sebuah daerah di Sulawesi Utara yang penduduknya terkenal pemberani, tukang berkelahi, dan nekat. Dia sendiri, harus kuakui, memang benar-benar seorang pemberani—lebih berani dibanding aku; biarpun ukuran tubuhnya kecil saja.
Entah sudah berapa kali dia sendirian mendatangi orang-orang yang dianggapnya telah menghinanya, lalu menantangnya berkelahi. Kepadaku, dia membanggakan kenekatannya itu sebagai bukti keberanian. Aku bilang padanya, itu sikap yang kurang beradab; ketidakmampuan berdialog dan menyelesaikan masalah secara elegan.


“Kalian orang Batak itu selalu merasa pemberani, sangat menjaga martabat dan harga diri. Bullshit. Kalian penakut! Kalian hanya berani sampai batas menggertak, tapi kalau yang digertak berani melawan kalian akan berdiplomasi atau mundur,”ujar kawanku itu sembari menandaskan,”Kalian takut mati, makanya tidak berani berperang. Kalian memang cerdik menutupinya dengan persuasi, membujuk; dan bahkan membunglon. Dan kalau semua cara itu gagal, kalian akan menyingkir atau lari.”
Aku tak bisa menyanggah lagi ketika dia membandingkan militansi dan kewiraan orang Batak/ orang Sumatera dan Menado/ orang Sulawesi saat bersama-sama melancarkan pemberontakan PRRI/Permesta pada tahun 1950-an.
“Kolonel Simbolon dan semua pemberontak di Sumatera hanya bertahan selama tiga bulan. Cuma sebulan kontak senjata, karena yang dua bulan lagi sibuk diplomasi lantaran takut digebuk oleh Bung Karno. Sedangkan Kawilarang dan Muzakkar di Sulawesi masih terus berontak sampai tiga tahun kemudian.”
* * *
Ucapan sahabatku itu sangat membekas dalam benakku. Membuatku jadi obsesif. Benarkah orang Batak penakut ?
Sebelum pendapatnya itu menyusup seperti virus dan menggerogoti kebanggaanku sebagai orang Batak, gambaranku mengenai manusia Batak adalah serba maskulin dan macho : pemberani atau bravado, jugul (keras kepala), parhata sada (tanpa kompromi, harus seperti maunya), tahan menderita dalam jangka panjang demi meraih cita-cita, sanggup hidup soliter di tengah-tengah lingkungan yang asing dan tak bersahabat, bersedia memikul tanggung jawab sebagai pemimpin, berani berinisiatif dan mengambil keputusan yang inkonvensional saat terjadi krisis, ngotot dalam menjaga martabat dan harga diri, selalu yakin bakal menang dalam setiap kompetisi (over confident, dan cenderung underestimate terhadap kompetitor), dan secara umum merasa superior (megalomania) terhadap etnis lain.
Berdasarkan pengalamanku selama periode singkat tinggal di Tapanuli; saat sekolah dasar; yang lalu kubandingkan dengan pengalamanku sejak SMP hingga dewasa di Jakarta; menurutku orang Batak lebih jantan, gentleman dan fair ketimbang etnis lain. Semasa SD di Tapanuli aku sangat sering berkelahi, tapi waktu SMP di Jakarta aku tak berani lagi berkelahi. Pasalnya, di Jakarta orang suka keroyokan dan main belakang, sebaliknya di Tapanuli orang menantang secara terbuka, berduel satu lawan satu, dan mematuhi aturan main.
Gambaran itulah yang aku sodorkan ketika pada suatu hari di tahun 90-an berdebat dengan Brigjen Soemarno Soedarsono, yang saat itu menjabat Wakil Gubernur Lemhanas. Belajar dari pengalaman menyakitkan ketika aku kalah telak dalam perdebatan dengan sahabatku seperti aku tuturkan di atas, aku langsung menyodorkan sejumlah bukti yang meyakinkan bahwa orang Batak pemberani.
Lihat, kataku kepada Soemarno, dari perang gerilya Sisingamaradja XII di hutan Tele dan Dairi sampai Operasi Woyla di Bangkok yang dipimpin oleh Sintong Panjaitan, orang Batak tak pernah alpa membuktikan wataknya sebagai etnis pemberani. Bahkan, seniman yang berperangai lembut seperti Cornel Simanjuntak ikut bertempur dalam perjuangan kemerdekaan. Pada sebuah pertempuran di Jakarta, Cornel diterjang peluru pasukan Belanda, lalu menjalani perawatan berbulan-bulan, mati sebagai pahlawan, dan akhirnya dimakamkan di Yogyakarta.
Orang Batak tidak hanya berani bertempur secara fisik, tapi juga secara mental dan bahkan hingga batas kesadaran eksistensinya. Lihat, kataku lagi kepada Wakil Gubernur Lemhanas itu, meskipun Cornel sangat mencintai Tano Batak, namun tak jadi soal baginya dikubur di mana saja. Kerelaan ini bersumber dari ujaran yag menjadi pegangan bagi semua orang Batak yang akan merantau : Dang mardia imbar tano hamatean. ‘Tak ada bedanya dikubur di mana saja’
Orang Batak juga berani melompati rintangan di perbatasan kotak-kotak agama, dibuktikan oleh arsitek F Silaban yang dengan penuh dedikasi merancang bangun Masjid Istiqlal. Mana ada orang Indonesia dari suku lain yang telah mencapai pencerahan setinggi itu ?


Penulis Artikel Robert Manurung
(maaf tidak kenal wajah,klik aja linknya)
Share This :
Batak Lovers

1 komentar

Berkomentarlah dengan Sopan

Komentar tanpa Nama kurang disukai dan cenderung dihapus!.