Artikel ini Merupakan Hasil Jalan-jalan Saya ke Blog Tetangga,
Saya Pikir Artikel ini Bermanfaat untuk terus di Bagikan atau di Kabarkan di Siarkan...!!!
Oleh : Robert Manurung
Saya Pikir Artikel ini Bermanfaat untuk terus di Bagikan atau di Kabarkan di Siarkan...!!!
“…Orang Batak memang pintar menyesuaikan diri, pintar mengambil hati. dan pintar membunglon. Itu ciri-ciri penakut,”katanya, lalu menikam dengan pernyataan lebih menyakitkan,”Otak kalian mungkin jauh lebih cerdas dibanding suku-suku lain di Indonesia, tapi hati kalian lemah, dan pendirian kalian gampang berubah-ubah. Batak itu oportunis tulen.”
Oleh : Robert Manurung
Keras,
kasar, tanpa kompromi; begitulah stereotip orang Batak di mata etnis
lain di Indonesia. Selain menimbulkan citra yang sangat negatif,
stereotip tersebut juga mencuatkan kesan : orang Batak sangat pemberani,
bahkan garang. Namun, penilaian itu ditertawakan oleh seorang sahabatku
asal Sulawesi, puluhan tahun silam. Dia bilang : Orang Batak penakut! .
Dulu,
aku menyangkal habis-habisan, dan bahkan marah. Aku sodorkan contoh
demi contoh, fakta demi fakta, untuk membuktikan kebalikannya, bahwa
sejatinya orang Batak pemberani. Tapi, tetap saja dia pada pendapatnya :
orang Batak Penakut!
Darahku
langsung mendidih. Lalu, dengan kemarahan yang meluap, aku
berkata,”Jaga mulut kau kawan, Jangan sembarangan menghina suku aku. Apa
matamu buta ? Apa tak bisa kau lihat begitu banyak orang Batak yang
jadi jenderal, bahkan menjadi Panglima ABRI?”
Tanpa
memperdulikan kemarahanku, dia menjawab sambil tersenyum penuh
pengertian, yang membuat darah mudaku kian mendidih,”Itu membuktikan
bahwa orang Batak pintar, bukan pemberani. Orang Batak memang pintar
menyesuaikan diri, pintar mengambil hati. dan pintar membunglon. Itu
ciri-ciri penakut,”katanya, lalu menikam dengan pernyataan lebih
menyakitkan,”Otak kalian mungkin jauh lebih cerdas dibanding suku-suku
lain di Indonesia, tapi hati kalian lemah, dan pendirian kalian gampang
berubah-ubah. Batak itu oportunis tulen.”
Sahabatku
itu berasal dari Sangir, sebuah daerah di Sulawesi Utara yang
penduduknya terkenal pemberani, tukang berkelahi, dan nekat. Dia
sendiri, harus kuakui, memang benar-benar seorang pemberani—lebih berani
dibanding aku; biarpun ukuran tubuhnya kecil saja.
Entah
sudah berapa kali dia sendirian mendatangi orang-orang yang dianggapnya
telah menghinanya, lalu menantangnya berkelahi. Kepadaku, dia
membanggakan kenekatannya itu sebagai bukti keberanian. Aku bilang
padanya, itu sikap yang kurang beradab; ketidakmampuan berdialog dan
menyelesaikan masalah secara elegan.
“Kalian orang Batak itu selalu merasa pemberani, sangat menjaga martabat dan harga diri. Bullshit. Kalian penakut! Kalian hanya berani sampai batas menggertak, tapi kalau yang digertak berani melawan kalian akan berdiplomasi atau mundur,”ujar kawanku itu sembari menandaskan,”Kalian takut mati, makanya tidak berani berperang. Kalian memang cerdik menutupinya dengan persuasi, membujuk; dan bahkan membunglon. Dan kalau semua cara itu gagal, kalian akan menyingkir atau lari.”
Aku tak bisa menyanggah lagi ketika dia membandingkan militansi dan kewiraan orang Batak/ orang Sumatera dan Menado/ orang Sulawesi saat bersama-sama melancarkan pemberontakan PRRI/Permesta pada tahun 1950-an.
“Kolonel Simbolon dan semua pemberontak di Sumatera hanya bertahan selama tiga bulan. Cuma sebulan kontak senjata, karena yang dua bulan lagi sibuk diplomasi lantaran takut digebuk oleh Bung Karno. Sedangkan Kawilarang dan Muzakkar di Sulawesi masih terus berontak sampai tiga tahun kemudian.”
* * *
Ucapan sahabatku itu sangat membekas dalam benakku. Membuatku jadi obsesif. Benarkah orang Batak penakut ?
Sebelum
pendapatnya itu menyusup seperti virus dan menggerogoti kebanggaanku
sebagai orang Batak, gambaranku mengenai manusia Batak adalah serba
maskulin dan macho : pemberani atau bravado, jugul (keras
kepala), parhata sada (tanpa kompromi, harus seperti maunya), tahan
menderita dalam jangka panjang demi meraih cita-cita, sanggup hidup
soliter di tengah-tengah lingkungan yang asing dan tak bersahabat,
bersedia memikul tanggung jawab sebagai pemimpin, berani berinisiatif
dan mengambil keputusan yang inkonvensional saat terjadi krisis, ngotot
dalam menjaga martabat dan harga diri, selalu yakin bakal menang dalam
setiap kompetisi (over confident, dan cenderung underestimate terhadap kompetitor), dan secara umum merasa superior (megalomania) terhadap etnis lain.
Berdasarkan
pengalamanku selama periode singkat tinggal di Tapanuli; saat sekolah
dasar; yang lalu kubandingkan dengan pengalamanku sejak SMP hingga
dewasa di Jakarta;
menurutku orang Batak lebih jantan, gentleman dan fair ketimbang etnis
lain. Semasa SD di Tapanuli aku sangat sering berkelahi, tapi waktu SMP
di Jakarta aku tak berani lagi berkelahi. Pasalnya, di Jakarta orang
suka keroyokan dan main belakang, sebaliknya di Tapanuli orang menantang
secara terbuka, berduel satu lawan satu, dan mematuhi aturan main.
Gambaran
itulah yang aku sodorkan ketika pada suatu hari di tahun 90-an berdebat
dengan Brigjen Soemarno Soedarsono, yang saat itu menjabat Wakil
Gubernur Lemhanas. Belajar dari pengalaman menyakitkan ketika aku kalah
telak dalam perdebatan dengan sahabatku seperti aku tuturkan di atas,
aku langsung menyodorkan sejumlah bukti yang meyakinkan bahwa orang
Batak pemberani.
Lihat, kataku kepada Soemarno, dari perang gerilya Sisingamaradja XII di hutan Tele dan Dairi sampai
Operasi Woyla di Bangkok yang dipimpin oleh Sintong Panjaitan, orang
Batak tak pernah alpa membuktikan wataknya sebagai etnis pemberani. Bahkan,
seniman yang berperangai lembut seperti Cornel Simanjuntak ikut
bertempur dalam perjuangan kemerdekaan. Pada sebuah pertempuran di Jakarta,
Cornel diterjang peluru pasukan Belanda, lalu menjalani perawatan
berbulan-bulan, mati sebagai pahlawan, dan akhirnya dimakamkan di Yogyakarta.
Orang
Batak tidak hanya berani bertempur secara fisik, tapi juga secara
mental dan bahkan hingga batas kesadaran eksistensinya. Lihat, kataku
lagi kepada Wakil Gubernur Lemhanas itu, meskipun Cornel sangat
mencintai Tano Batak, namun tak jadi soal baginya dikubur di mana saja.
Kerelaan ini bersumber dari ujaran yag menjadi pegangan bagi semua orang
Batak yang akan merantau : Dang mardia imbar tano hamatean. ‘Tak ada bedanya dikubur di mana saja’
Orang Batak juga berani melompati
rintangan di perbatasan kotak-kotak agama, dibuktikan oleh arsitek F
Silaban yang dengan penuh dedikasi merancang bangun Masjid Istiqlal.
Mana ada orang Indonesia dari suku lain yang telah mencapai pencerahan setinggi itu ?
Penulis Artikel Robert Manurung
(maaf tidak kenal wajah,klik aja linknya)
Share This :
kereen
ReplyDelete